Analisis Puisi “Dewa Telah Mati” Subagio Sastrowardojo dengan Pendekatan Stilistika
1. Bahasa Puisi “ Dewa Telah Mati “
DEWA TELAH MATI
Tak
ada dewa di rawa-rawa ini
Hanya
gagak yang mengakak malam hari
Dan
siang terbang mengitari bangkai
pertapa
yang terbunuh dekat kuil
Dewa
telah mati di tepi-tepi ini
Hanya
ular yang mendesir dekat sumber
Lalu
minum dari mulut
pelacur
yang tersenyum dengan bayang sendiri
Bumi
ini perumpuan jalang
yang
menarik laki-laki jantan dan pertapa
ke
rawa-rawa mesum ini
dan
membunuhnya pagi hari
Puisi di atas terdiri dari tiga
bait, setiap bait terdiri atas empat larik. Jumlah larik keseluruhan yaitu 12
larik.
Pada bait pertama setiap akhir larik terdapat persamaan bunyi vokal i pada kata ini, hari, dan bangkai, kecuali pada larik ke empat berupa konsonan l pada kata kuil.
Pada bait kedua, akhir lariknya tidak beraturan kecuali pada larik pertama dan kekeempat terdapat persamaan bunyi vokal i yaitu ini dan sendiri.
Pada bait ketiga di larik ketiga dan keempat terdapat persamaan bunyi vokal i, seperti ini dan hari.
Pada bait pertama setiap akhir larik terdapat persamaan bunyi vokal i pada kata ini, hari, dan bangkai, kecuali pada larik ke empat berupa konsonan l pada kata kuil.
Pada bait kedua, akhir lariknya tidak beraturan kecuali pada larik pertama dan kekeempat terdapat persamaan bunyi vokal i yaitu ini dan sendiri.
Pada bait ketiga di larik ketiga dan keempat terdapat persamaan bunyi vokal i, seperti ini dan hari.
Puisi tersebut ditulis dengan bahasa
yang hemat. Tidak ada kata yang mubazir dan tidak ada terdapat pengulangan
frasa menjadikan puisi ini hemat dan tidak mubazir.
Puisi tersebut juga ditulis dengan
bahasa yang cermat, misalnya rawa-rawa, gagak, malam dan bangkai mengacu
pada pengertian yang berkenaan dengan tempat yang tidak baik dan orang jahat.
Pilihan kata gagak pada larik kedua “Hanya gagak yang mengakak malam hari”, memperlihatkan kecermatan penyair. Pemakaian kata gagak memang tepat bila dipadankan dengan orang jahat.
Pilihan kata gagak pada larik kedua “Hanya gagak yang mengakak malam hari”, memperlihatkan kecermatan penyair. Pemakaian kata gagak memang tepat bila dipadankan dengan orang jahat.
Ungkapan “Dewa telah mati
ditepi-tepi ini” juga memperlihatkan kecermatan penyair pada pilihan kata
tepi-tepi sama artinya dengan rawa-rawa yang maksudnya tempat maksiat dan orang
jahat,
dan jika pada larik kedua pada bait kedua “Hanya ular yang mendesir dekat sumber” juga memang benar kalau ular berkaitan dengan rawa-rawa.
dan jika pada larik kedua pada bait kedua “Hanya ular yang mendesir dekat sumber” juga memang benar kalau ular berkaitan dengan rawa-rawa.
2. Gaya Puisi “Dewa telah Mati”
Puisi di atas terdapat repetisi yang berkaitan dengan unsur
fonologis dalam puisi tersebut meliputi asonansi (persamaan bunyi vokal) dan
aliterasi (persamaan bunyi konsonan).
Pada puisi tersebut terdapat asonansi bunyi a dan i seperti di rawa-rawa, mengitari bangkai, di tepi-tepi ini, bumi ini, dan pagi hari.
Sedangkan aliterasi yaitu bunyi m seperti mengakak malam. Repetisi yang berkaitan unsur leksikal misalnya pengulangan kata dewa (diulang sebanyak dua kali).
Pada puisi tersebut terdapat asonansi bunyi a dan i seperti di rawa-rawa, mengitari bangkai, di tepi-tepi ini, bumi ini, dan pagi hari.
Sedangkan aliterasi yaitu bunyi m seperti mengakak malam. Repetisi yang berkaitan unsur leksikal misalnya pengulangan kata dewa (diulang sebanyak dua kali).
Berkaitan dengan unsur gramatikal, puisi tersebut ada memiliki
enjambemen, yaitu pada bait pertama di larik ketiga dan keempat.
Dan siang terbang mengitari bangkai
pertapa yang terbunuh dekat kuil
Dan
selanjutnya pada bait kedua larik ketiga dan keempat juga berupa enjamemen
Lalu minum dari
mulut
pelacur yang
tersenyum dengan baying sendiri.
Pada ketiga semua lariknya juga berupa
enjambemen
Bumi ini
perempuan jalang
yang menarik
laki-laki jantan dan pertapa
ke rawa-rawa
mesum ini
dan membunuhnya
pagi hari.
Berkaitan dengan pemajasan, puisi tersebut dominan dengan majas
metafora, yaitu :
Pada
bait pertama pada kata dewa, rawa-rawa, gagak, malam hari, bangkai, pertapa,
dan kuil.
Dalam bait kedua pada kata dewa, tepi-tepi, ular, sumber dan pelacur. Dan dalam bait ketiga bumi adalah perempuan jalang, laki-laki jantan, pertapa, rawa-rawa mesum dan pagi hari. Semua itu menggantikan hal-hal atau benda-benda yang lain.
Dalam bait kedua pada kata dewa, tepi-tepi, ular, sumber dan pelacur. Dan dalam bait ketiga bumi adalah perempuan jalang, laki-laki jantan, pertapa, rawa-rawa mesum dan pagi hari. Semua itu menggantikan hal-hal atau benda-benda yang lain.
Penulisan pemajasan pada puisi tersebut memperlihatkan ketepatan.
Misalnya : “lalu minum dari mulut”, memperlihatkan ketepatan memang benar bahwa minum memang dari
mulut. “yang menarik laki-laki jantan” juga memperlihatkan ketepatan
bahwa kata jantan memang dipakai untuk laki-laki.
Untuk lebih menekankan pada pernyataan pesan, penyair menyajikan dengan
beberapa citraan, seperti citra visual, pendengaran,dan gerak.
Yang berkaitan dengan pencitraan visual misanya “ tak ada dewa di rawa-rawa ini “ dan “pelacur yang tersenyum dengan bayang sendiri “. Yang berkaitan dengan citra pendengaran misalnya “hanya gagak yang mengangak malam hari” dan “hanya ular yang mendesir dekat sumber”, dan citra gerak yaitu “dan siang terbang mengitari bangkai”.
Yang berkaitan dengan pencitraan visual misanya “ tak ada dewa di rawa-rawa ini “ dan “pelacur yang tersenyum dengan bayang sendiri “. Yang berkaitan dengan citra pendengaran misalnya “hanya gagak yang mengangak malam hari” dan “hanya ular yang mendesir dekat sumber”, dan citra gerak yaitu “dan siang terbang mengitari bangkai”.
Secara kseluruhan puisi ini dibangun dengan kata, frasa, maupun
larik yang saling berkaitan. Misalnya pengulangan kata dewa yang semula
dikemukakan pada bait pertama, kemudian dikemukakan lagi pada bait kedua.
Dalam puisi tersebut terdapat kata penghubung yang berupa kata tugas seperti kata dan, lalu serta yang.
Dalam puisi tersebut terdapat kata penghubung yang berupa kata tugas seperti kata dan, lalu serta yang.
3. Pembahasan puisi “ Dewa Telah Mati “
Puisi “Dewa telah Mati” dimulai dengan suatu pernyataan,
seperti pada judul, “Dewa telah mati” dewa pada pernyataan tersebut
menandai makna akan tuhan.
Yang dimaksud tuhan itu telah mati (sebagian) manusia atau Tuahn telah tidak dipercaya lagi oleh manusia.
Yang dimaksud tuhan itu telah mati (sebagian) manusia atau Tuahn telah tidak dipercaya lagi oleh manusia.
Pada bait pertama secara metaforis menyatakan bahwa di rawa-rawa
ini menggantikan suatu tempat,kota-kota di dunia yang kotor.
Yang ada di tempat kotor, tempat manusia berbuat maksiat. Gagak mengakak : berteriak-teriak mengiaskan orang jahat yang berbuat jahat, di malam hari mengiaskan waktu kegelapan.
Mengitari bangkai mengiaskan rezeki yang haram. Sedangkan pertapa yang terbunuh dekat kuil mengiaskan bahwa orang-orang suci tidak lagi taat kepada agama hanya mencari harta dunia.
Yang ada di tempat kotor, tempat manusia berbuat maksiat. Gagak mengakak : berteriak-teriak mengiaskan orang jahat yang berbuat jahat, di malam hari mengiaskan waktu kegelapan.
Mengitari bangkai mengiaskan rezeki yang haram. Sedangkan pertapa yang terbunuh dekat kuil mengiaskan bahwa orang-orang suci tidak lagi taat kepada agama hanya mencari harta dunia.
Pada bait kedua, penyair menulis hanya ular yaitu mengiaskan orang jahat juga. Sumber adalah
kiasan pusat atau tempat yang banyak rezekinya
dan pelacur juga mengiaskan orang tuna susila, orang yang suka
merendahkan dirinya dengan menjual dirinya, menjual kehormatannya.
Tersenyum melihat bayangnya sendiri (di cermin), berarti masih cantik, masih bahagia bahka menyombongkan diri akan kecantikannya.
Tersenyum melihat bayangnya sendiri (di cermin), berarti masih cantik, masih bahagia bahka menyombongkan diri akan kecantikannya.
Karena dewa telah mati, maka bumi ini, tidak lain adalah perempuan jalang , objek
kenikmatan haram, yangmenarik laki-laki jantan (orang yang hanya memuaskan hawa
nafsu seksual dan keduniawian).
Kemaksiatan itu membawa mereka ke “rawa-rawa mesum” tempat-tempat berbuat maksiat. Akibatnya, laki-laki itu terbunuh oleh kemesuman dan kemaksiatan dikarenakan oleh penyakit spilis dan AIDS.
Kemaksiatan itu membawa mereka ke “rawa-rawa mesum” tempat-tempat berbuat maksiat. Akibatnya, laki-laki itu terbunuh oleh kemesuman dan kemaksiatan dikarenakan oleh penyakit spilis dan AIDS.
Pada puisi “Dewa telah Mati” manusia tidak lagi percaya
kepadaTuhan. Kalau tuhan tidak dipercaya oleh manusia maka, digambarkan dunia
ini hanya penuh dengan kejahatan dan kemaksiatan karena orang sudah tidak
percaya lagi kepada Tuhan.
Manusia hanya memuaskan hidup keduniawian dan mengumbar hawa nafsunya yang pada akhirnya akan membawa kehancuran seperti pada bait yang ketiga.
Manusia hanya memuaskan hidup keduniawian dan mengumbar hawa nafsunya yang pada akhirnya akan membawa kehancuran seperti pada bait yang ketiga.
Lihat Juga
- Drama: Seluk-beluk, Analisis Unsur dan Analisis Tokoh
- Kaidah Kebahasaan dalam Teks Ceramah (Kalimat Imperatif)
- Macam-macam Konjungsi atau Kata Sambung dalam Bahasa Indonesia dan Contohnya
- Kaidah Kebahasaan dalam Teks Ceramah (Kalimat Imperatif)
- Surat Keterangan Tidak Mampu atau Miskin
- Cara Menulis Surat Lamaran Yang Baik Dan Benar
- Surat Permohonan Izin
- Ceramah: Manfaat dan Perbedaannya dengan Pidato dan Khotbah
- Cara Menulis Surat Lamaran Yang Baik Dan Benar
- Teks Editorial atau Tajuk Rencana: Pengertian, Ciri dan Sifatnya
- Teks Eksplanasi: Pengertian, Tujuan, Struktur dan Cirinya
- Kebahasaan dalam Cerita atau Novel Sejarah Sastra
- Teks Cerita Sejarah
- Cara Menulis Surat Lamaran Yang Baik Dan Benar