KARYA SASTRA BERBAHASA BANJAR SEBAGAI SALAH SATU UPAYA
PELESTARIAN BAHASA BANJAR
Oleh Akhmad Idrus
A. Pendahuluan
Dalam catatan perjalanan sejarah bangsa Indonesia
tercantum salah satu hal penting berkaitan dengan bahasa bangsa, yaitu bahasa Indonesia.
Bahasa Indonesia yang diikrarkan dalam Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928
sebagai bahasa persatuan menjadi salah satu pengikat keragaman suku bangsa
dalam semangat kebangsaan Indonesia. Tidak berlebihan jika ikrar yang
dicetuskan oleh para pemuda tersebut menjadi salah satu unsur terpenting bangsa
Indonesia khususnya dalam hal persatuan dan kesatuan. Para pemuda pada tahun
tersebut menyatakan ikrar yang mengaku bertumpah darah yang satu tanah air
Indonesia, berbangsa yang satu bangsa Indonesia, dan menjunjung bahasa
persatuan Bahasa Indonesia.
Semangat Sumpah Pemuda melandasi pasal 36
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. Pasal tersebut
mempertegas bahwa bahasa negara ialah Bahasa Indonesia. Kemudian,
tentang Bahasa Indonesia ini selanjutnya diatur dalam Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan.
Undang-undang tersebut juga mengatur tentang bahasa daerah. Dalam undang-undang
tersebut dijelaskan bahwa bahasa daerah adalah bahasa yang digunakan secara
turun-temurun oleh warga negara Indonesia di daerah-daerah di wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Indonesia terdiri atas berbagai suku dengan bahasanya
masing-masing. Dalam artikelnya, Budiwiyanto menyebutkan berdasarkan laporan
hasil penelitian Kekerabatan dan Pemetaan Bahasa-Bahasa di Indonesia yang
dilakukan oleh Badan Bahasa pada tahun 2008, telah berhasil diidentifikasi
sejumlah 442 bahasa. Hingga tahun 2011, tercatat terjadi penambahan sejumlah 72
bahasa sehingga jumlah keseluruhannya menjadi 514 bahasa. Jumlah tersebut masih
dapat bertambah karena masih ada beberapa daerah yang belum diteliti. http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/lamanbahasa/artikel/1285.
Selanjutnya, pelestarian bahasa daerah tidak terlepas
dari peran dan tanggung jawab pemerintah daerah, dengan tetap mengacu pada
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2009, Tentang Bendera, Bahasa,
dan Lambang Negara Serta Lagu Kebangsaan. Upaya pelestarian ini idealnya diatur
dalam peraturan daerah (Perda) sebagai wujud apresiasi Pemda atas pelestarian
budaya daerah.
Upaya pelestarian bahasa daerah perlu dilakukan karena
bahasa daerah mulai terkikis oleh pengaruh globalisasi, serta kecenderungan
penurunan penggunaan bahasa daerah dalam kehidupan sehari-hari, baik di
lingkungan keluarga maupun lingkungan pergaulan masyarakat di luar keluarga.
Jika diamati lebih jauh, banyak kemungkinan penyebab terkikisnya bahasa daerah.
Sebagai contoh yaitu perpindahan penduduk dari desa ke kota dengan segala gaya
hidup yang mempengaruhinya termasuk bahasa. Kebutuhan berbahasa yang dapat
diterima dan dipahami oleh masyarakat yang didatangi membuat bahasa ibu (bahasa
daerah) perlahan-lahan tersaingi. Ekonomi juga turut mempengaruhi hal ini.
Kecenderungan orang yang pandai berbahasa asing dan atau bahasa Indonesia yang
lebih diutamakan untuk menempati sebuah posisi di dunia kerja membuat bahasa
daerah lambat laun akan memudar penggunaannya.
B. Bahasa
Banjar sebagai Salah Satu Bahasa Daerah di Indonesia
Salah satu bahasa daerah di Indonesia yang terdapat di
Provinsi Kalimantan Selatan adalah bahasa Banjar. Abdul Djebar Hapip dalam
Kamus Banjar Indonesia (2008) menjelaskan bahwa bahasa Banjar (BB) ialah bahasa
yang dipergunakan oleh suku Banjar. Secara geografis suku ini pada mulanya
mendiami hampir seluruh wilayah provinsi Kalimantan Selatan sekarang ini yang
kemudian akibat perpindahan atau percampuran penduduk dan kebudayaannya di
dalam proses waktu berabad-abad, maka suku Banjar dan BB tersebar meluas sampai
ke daerah-daerah pesisir Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur, bahkan banyak
didapatkan di beberapa tempat di Pulau Sumatra yang kebetulan menjadi pemukiman
orang-orang perantau dari Banjar sejak lama seperti di Muara Tungkal, Sapat dan
Tembilahan.
BB bisa dibedakan antara dua dialek besar, yaitu
dialek bahasa Banjar Kuala (BK) dan dialek Bahasa Banjar Hulu Sungai (BH).
Dialek BK umumnya dipakai oleh penduduk “asli” sekitar kota Banjarmasin,
Martapura dan Pelaihari, sedangkan dialek BH adalah BB yang dipakai oleh
penduduk di daerah hulu sungai umumnya, yaitu daerah-daerah Kabupaten Tapin,
Hulu Sungai Selatan, Hulu Sungai Tengah dan Hulu Sungai Utara serta Tabalong.
Pemakai BH ini jauh lebih luas dan masih menunjukkan beberapa variasi subdialek
lagi yang oleh Den Hamer disebut dengan istilah dialek lokal, yaitu Amuntai,
Alabio, Kalua, Kandangan, Tanjung, bahkan ia cenderung berpendapat bahwa bahasa
yang dipakai oleh “orang bukit” yaitu penduduk pedalaman pegunungan Meratus
merupakan salah satu subdialek BH pula. Dan mungkin subdialek baik BK maupun BH
itu masih banyak lagi.
C. Peran
Karya Sastra sebagai Salah Satu Upaya Pelestarian Bahasa Daerah
Karya sastra bukan semata-mata penyajian peristiwa
yang indah melainkan penyampaian hakikat peristiwa tersebut. Dari sini akan
ditemukan makna-makna peristiwa setelah melalui penghayatan, pendalaman makna
dan penafsiran. Karya sastra memuat bahan perenungan yang melibatkan aspek
moral, nurani, emosi dan etika.
Karya sastra diciptakan dengan daya kreativitas dan
imajinasi tapi kreativitas itu tidak lantas menghilangkan unsur realita dalam
prosesnya. Pengarang melahirkan berbagai pengalaman dalam karyanya
dengan memilih unsur-unsur terbaik dari pengalaman hidupnya maupun
pengalaman manusia lain yang dihayatinya. Pengalaman tersebut tidak
hanya pengalaman lahir tetapi juga lebih pada pengalaman batin.
Karya sastra mengemukakan masalah-masalah manusia,
masalah hidup dan kehidupan. Pengarang yang kreatif selalu mampu mengolah
permasalahan- permasalahan tersebut menjadi suatu karya yang berharga, berguna
bagi dirinya dan bagi orang lain. Pengarang kreatif senantiasa berusaha
mengemukakan wacana baru dalam karyanya, apapun bentuk karya sastra yang
ditulisnya agar para pembacanya tidak hanya merasa terhibur tapi juga merasa
tercerahkan jiwanya.
Berbicara tentang karya sastra tidak bisa lepas
dari bahasa sebagai media dan unsur utamanya. Pada umumnya
masyarakat terkini mengenal karya sastra sebagai karya yang berbahasa Indonesia
padahal ada juga karya sastra yang bukan berbahasa Indonesia, melainkan
berbahasa daerah. Di Kalimantan Selatan misalnya terdapat bahasa daerah Banjar
(yang dominan) di samping bahasa daerah lainnya. Meskipun yang dimaksud dengan
karya sastra bertema lokalitas bukan semata tentang hadirnya suatu
bahasa dalam karya melainkan nuansa kehidupan lokal yang menjadi ciri utama
mesyarakatnya, kiranya bukan sesuatu yang berlebihan jika mengemukakan unsur
eksistensi bahasanya ke permukaan ranah sastra. Hal ini diwujudkan dengan
penggunaan bahasa daerah (:Banjar) sebagai bentuk penyampaian ekspresi (Mungkin
cerpen, mungkin puisi).
1. Upaya
Pelestarian Bahasa Banjar Melalui Puisi Berbahasa Banjar
Puisi sebagai salah satu bentuk karya sastra
menggunakan bahasa sebagai medianya. Akan tetapi bahasa yang digunakan dalam
puisi “berbeda” dengan bahasa yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari.
Bahasa puisi memiliki keunikan tersendiri sebagai hasil kreativitas, ekspresi
dan imajinasi penyair. Bahasa puisi memiliki nilai estetika yang akan diperoleh
oleh pembacanya melalui pembacaan yang intens dan apresiasi yang tinggi.
Tarsyad menyebutkan bahwa bahasa puisi mengalami proses pemadatan makna dan
kreativitas pemilihan diksi penyairnya (2011:6).
Puisi
berbahasa Indonesia relatif mudah dan banyak ditemui. Hal ini sejalan dengan
Sumpah Pemuda yang ketiga, menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia. Akan
tetapi ada hal yang tidak boleh dilupakan yaitu adanya bahasa-bahasa daerah yang
merupakan unsur pembangun dan pemerkaya bahasa Indonesia. Sudah sewajarnya ada
upaya untuk melestarikan bahasa daerah dari masyarakat penuturnya. Salah satu
upaya pelestarian tersebut bisa dilakukan melalui jalur kesusastraan.
Salah
satu bahasa daerah yang dipakai dalam bahasa puisi adalah bahasa Banjar.
Menemukan puisi berbahasa Banjar dari jenis puisi lama mungkin relatif lebih
mudah. Yang masih terbilang langka adalah puisi baru/puisi modern yang
menggunakan bahasa Banjar, baik bahasa Banjar Hulu maupun bahasa Banjar Kuala.
Contoh
puisi yang menggunakan bahasa Banjar yang dapat kita apresiasi dan kritisi
bersama adalah puisi-puisi karangan penyair asal Kalimantan Selatan,
Abdurrahman El Husaini. Ada dua buku yang memuat kumpulan puisi berbahasa
Banjar yang ia karang, yaitu Doa Banyu Mata (diterbitkan oleh
Tahura Media, Juni 2011) dan Jukung Waktu(diterbitkan oleh Scripta
Cendekia, Februari 2012).
Tasanda jua Banyu Mata Ngini
Tasanda
jua banyu mata ngini paampihannya
Lawan
sungai-sungai nang ditabat
Lawan
pahumaan-pahumaan nang disaluh manjadi rumah-rumah ganal bagus
Lawan
gunung manggunung nang diruntuhakan
Lawan
puhun mamuhun nang ditabangi
Lawan
paparutan tanah nang dibungkari
Cuba pian
liati janak-janak
Cuba pian
janaki pitih-pitih
Amun
kumarau
Kumarau
balalandangan
Amun
musim ujan
Ba ah
saalaman
Musim
kada kawa ditangguh lagi
Nang
disangka panas sakalinya ujan sing labatan
Nang
disangka ujan sakalinya panas manggantang
Mbah anu
ujan mbah anu panas
Mbah anu
panas mbah anu ujan
Tasanda
jua banyu mata ngini paampihannya
Lawan
ingui tangis kita barataan
(Puisi
Abdurrahman El Husaini dalam Doa Banyu Mata, 2011:66).
Puisi tersebut berbicara tentang
kepedulian penyairnya terhadap lingkungan. Sungai, sawah, gunung, pohon, hutan,
tanah, mulai terancam keberadaannya karena ulah tangan manusia. Akibatnya musim
menjadi tidak menentu, tidak lagi bisa terbaca. Kadang-kadang hujan,
kadang-kadang panas. Hal ini menjadikan kesedihan yang mendalam bagi penyair.
Dalam puisi tersebut ia mewakilkannya dengan tergadainya airmata.
Ada
beberapa kosakata yang mungkin tidak terlalu dikenal lagi oleh masyarakat
Banjar khususnya usia remaja ke bawah dalam puisi tersebut misalnya “pitih”,
“balalandangan” dan “ingui”. Dalam Kamus Banjar Indonesia karangan
Abdul Djebar Hapip, dapat ditemukan kata “itih”, mungkin ini yang dimaksud oleh
penyair dengan “pitih”. Itih berarti teliti (2008:63). Sedangkan “landang”
berarti jauh, panjang, lama (2008:102). Adapun “ingui” (2008:6) dipadankan
dengan “iluy” yang berarti lagu; bailuyberlagu (menangis).
ZIKIR
HATI
Zikir
hati
Bajalulut
Bajarikit
Lawan
gatah
Hidayah
Allah
Taala
Siang
malam kada sing lingkahan
Malam
Sabtu 12 Ramadhan 1432 H
(puisi
Abdurrahman El Husaini dalam Jukung Waktu, 2012:65).
Puisi
tersebut berbicara tentang kereligiusan, kecintaan, kedekatan terhadap Allah.
Beberapa kosakata yang cukup khas dalam puisi tersebut adalah “bajalulut”,
“bajarikit” dan “sing lingkahan”. “ Jalulut” tidak ditemukan dalam kamus sedangkan
“ Jarikit” berarti lekat, lengket (Hapip, 2008:67). Adapun yang
dimaksud dengan “lingkah” dalam puisi tersebut masih menurut Kamus Banjar
Indonesia berarti terlepas atau hilang (2008:111).
2. Upaya
Pelestarian Bahasa Banjar Melalui Cerpen Berbahasa Banjar
Poe dalam Afra (2007: 112) menyatakan bahwa cerpen
adalah narasi yang bisa dibaca dalam sekali duduk, dengan lama waktu setengah
hingga dua jam. Karena pendek, cerpen memiliki ruang yang padat. Meski
kelihatannya pendek, sebuah cerpen mampu menyampaikan hal-hal berharga yang
bisa tersampaikan secara implisit maupun eksplisit.
Unsur-unsur yang membangun sebuah cerpen secara
intrinsik adalah tema, plot (alur), setting, sudut pandang atau penokohan dan
tokoh. Namun secara ekstrinsik sebuah cerpen dipengaruhi pula oleh
pandangan-pandangan dan latar belakang kehidupan penulisnya.
Cerpen sebagai bagian dari kesuasteraan modern
Indonesia merupakan cermin kebudayaan bangsa Indonesia yang hidup dalam
keberagaman sistem budaya. Hal ini diwujudkan ke dalam aspek-aspek tematis dan
stilistis karya.
Sebagai karya fiksi, cerpen diciptakan dengan daya
kreativitas dan imajinasi. Kreativitas itu tidak saja dituntut dalam upaya
pengarang melahirkan pengalaman batin dalam karyanya, tetapi juga harus kreatif
memilih unsur-unsur terbaik dari pengalaman hidup manusia yang
dihayatinya. Penulis cerpen bersandar pada kreativitas. Kreativitas memberi
peluang yang sangat luas bagi keragaman muatan karya sastra. Dunia fiksi jauh
lebih banyak mengandung berbagai kemungkinan daripada yang ada di dunia nyata.
Dalam proses kreativitasnya pengarang bisa saja menyiasati, mengkreasi,
memanipulasi berbagai masalah hidup dan kehidupan yang dialami dan diamatinya.
Seperti halnya puisi, cerpen pun menggunakan bahasa
sebagai media. Cerpen berbahasa Banjar senasib dengan puisi berbahasa Banjar.
Para penulis cerpen Kalimantan Selatan lebih banyak menulis cerpen dalam bahasa
Indonesia. Salah satu buku kumpulan cerpen berbahasa Banjar yang dapat dibaca,
diapresiasi dan dikritisi adalah kumpulan kisdap Malam Kumpai Batu (disusun
oleh Sandi Firly dan diterbitkan oleh Media Tahura, April 2012).
Berikut kutipan cerpen “Malam Kumpai Batu” yang
terdapat dalam buku tersebut.
Tadapatnya kami tabarungan haja, wan pulang, kada
disangka-sangka. Mulai kapal At Taslim balayang matan Palabuhan Pasar Lima
Banjar siang tadi, bujur nah, aku kada tahu inya sakalinya umpat jua, jadi
panumpang, di kapal ngini. Di Murung Panti, waktu kapal singgah di pos
panjagaan, aku handak bakunjang kaluar kapal, ka warung palabuhan handak
manukar roko. Sakilaran, bibinian ngitu takurihing. Asa pinandu asa kada, kada
kuherani ai inya. Kalu ai inya takurihing gasan urang lain. Dua pulang, kau
gair kalu aku dikira urang lalakian liur baungan. …. (Kisdap Malam Kumpai Batu
karangan M. Rifani Djamhari, 2012:1).
Kutipan tersebut menggambarkan adanya perjalanan yang
menggunakan kapal bernama At Taslim. Pembaca memperoleh gambaran bahwa dulu,
alat transportasi yang diandalkan adalah kapal. Dari kutipan tersebut diperoleh
pula ungkapan “liur baungan” yang tidak mustahil suatu saat tidak terdengar
lagi dalam percakapan orang Banjar karena berganti ungkapan dari bahasa lain.
Begitu juga dengan kata “sakilaran” dan “takurihing”.
Cerpen “Malam Kumpai Batu” mengisahkan pertemuan
kembali sepasang manusia yang pernah memiliki hubungan khusus secra tidak
sengaja dalam sebuah perjalanan yang menggunakan alat transportasi air. Dalam
cerpen ini pembaca akan menemukan rute-rute perjalanan yang dilalui. Perjalanan
tokoh aku dimulai dari pelabuhan pasar lama Banjarmasin. Dari cerpen ini pula,
pembaca akan mengetahui rute Banjarmasin-Nagara melewati Margasari
Marabahan.
Cerpen selanjutnya yang bisa diamati adalah sebagai
berikut,
Imah takulimpapak! Bakalincuat saitu saini. Hinaknya
mahingal, kaya urang ngangal, pual-pual lacit ka bantal, nang kaya hadangan
disumbalih angkal. Awaknya manggitir. Jimus paluh. Inya hanyar mailan tumatan
mimpi nang kada sing baikan. Bakalimpusut inya bapuat, duduk mancugut di tubir
ranajng sambil mangajang pinggang nang ngilu. Dilacungakanya hinak
landang-landang. Rancak Imah mangucak-ngucak bigi matanya, tagal hayabang mimpi
nang saling kada baikan tuti maguni haja maumpinak di panjanaknya. (Cerpen
“Anja” karangan Aliman Syahrani dalam buku kumpulan kisdap Banjar Malam
Kumpai Batu,2012:40).
Kutipan cerpen “Anja” tersebut menghadirkan bahasa
Banjar Hulu dengan subdialek Kandangan. Kata-kata “takulimpapak”,
“bakalincuat”, “pual-pual” termasuk kata-kata yang tidak mudah dipahami artinya
oleh pembaca yang bukan penutur bahasa Banjar Hulu (dalam kamus Banjar pun
belum ada). “Takalimpapak” artinya sangat terkejut, disertai gerakan seluruh
tubuhsecara refleks. “Bakalincuat” artinya bangkit dari berbaring atau duduk
dengan segera, bisa karena takut, marah, atau kaget. “Pual-pual” sama dengan
“kepul”, seperti orang mengeluaran asap rokok dari mulut. Mungkin masih ada
beberapa kata lain yang maknanya tidak langsung dipahami oleh pembaca karena
kemungkinan kata tersebut berasal dari dialek atau subdialek yang bukan dialek atau
subdialek keseharian pembaca.
Secara bentuk, kata-kata tersebut menunjukan bahwa
bahasa Banjar memiliki keunikan. Ada kata (hanya satu kata) yang menjelaskan
suatu keadaan yang tidak bisa dipadankan dengan kata lain. Semacam keunikan
yang terdapat pada kata “intil” misalnya. “Intil” menurut Kamus Banjar
Indonesia berarti letak sesuatu yang hampir jatuh, atau mudah terlihat, mudah
diambil orang (Hapip, 2008:62). Ini memperlihatkan kekayaan bahasa Banjar dalam
mengemukakan suatu konsep.
Jika dibaca secara utuh, cerpen “Anja” memberi
gambaran tentang salah satu kepercayaan masyarakat Loksado terhadap arwah.
Cerpen ini sangat kental nuansa lokalnya. Tidak hanya karena bahasa yang
dipakai adalah bahasa daerah (Banjar Hulu) tapi karena memang dalam cerpen ini ditemukan
unsur lokalitas yang khas dari masyarakat Loksado. Kepercayaan tersebut mungkin
lambat laun tidak akan terjalin lagi dalam kehidupan masyarakat Banjar. Seiring
perkembangan zaman, keterbukaan pemikiran dan wawasan masyarakat, peningkatan
intelektualitas, kepercayaan tersebut bisa saja akan menghilang. Menghilangnya
sebuah konsep akan diikuti dengan hilangnya sebuah istilah.
Jika dibandingkan dengan cerpen “Julak Utam” karangan
Dewi Alfianti, masih dalam buku kumpulan kisdap Malam Kumpai Batu,
cerpen “Anja” sangat kental bahasa BH nya sedangkan “Julak Utam” terasa lebih
mengarah ke bahasa BK nya. Tentu secara ekstrinsik, sedikit banyaknya latar
belakang pengarangnya turut mempengaruhi hal ini. Aliman Syahrani, pengarang
cerpen “Anja”, lahir di Datar Balimbing Loksado kemudian tinggal di Kabupaten
Hulu Sungai Selatan di kota Kandangan sedangkan Dewi Alfianti, pengarang cerpen
“Julak Utam” lahir dan tinggal di Banjarmasin.
Berikut kutipan cerpen “Julak Utam” dalam buku
kumpulan kisdap Malam Kumpai Batu (2012):
Rambut basulah, muha pina membulat, dahi meneng, pas
haja lawan potongan muha bulat nang jua pina putih baminyak…(hlm 86).
Atau kutipan berikut,
Sidin datang, bubuhannya abut wan tumbur-tumburnya.
Ada nang bukah-bukah, siapakah tu di bawah. Iwan, nang manyetel lagu rok di
higa kamarku mahamuk-hamuk lakas manggemeti tip-nya…(hlm 87).
Kutipan tersebut memuat kata-kata yang dominan
terdapat dalam tuturan bahasa BK. Salah satu hal yang utama adalah dalam bahasa
BH tidak terdapat vokal “O” dan vokal “e”. Keduanya secara berturut-turut
digantikan oleh vokal “u” dan vokal “a” atau “i”. “manyetel” dan
“manggemeti” misalnya, dapat dikenali sebagai bagian dari bahasa BK.
Melalui cerpen berbahasa Banjar, pembaca tidak hanya
memperoleh “Banjar” sebagai tempatan atau lokalitas sebuah pengisahan tapi juga
memperoleh pengetahuan bahasa Banjar itu sendiri. Mungkin saja terdapat
beberapa kosa kata yang sudah tidak dijumpai lagi dalam penuturan sehari-hari,
mungkin pula ada kosa kata yang berasal dari sub-subdialek BB yang akan
memperkaya khasanah BB. Melalui cerpen, kosa kata dan pemahaman terhadap kosa
kata tersebut kiranya dapat dijaga kelestariannya.
D. Penutup
Suatu bahasa sebagai salah satu identitas suatu
masyarakat memiliki kemungkinan akan hilang dari masyarakatnya, terpengaruh
arus globalisasi, lalu terbentuklah bahasa-bahasa baru. Sebagai
masyarakat yang lebih dekat dengan tradisi lisan, masyarakat Banjar memerlukan
pengembangan tradisi literasi sebagai salah satu upaya pelestarian bahasa.
Tradisi yang menyandingkan kegiatan baca dan tulis dalam suasana yang sehat dan
kreatif. Keberadaan cerpen dan puisi berbahasa Banjar merupakan salah satu
upaya pelestarian bahasa Banjar yang dapat diandalkan.
Meskipun cerpen dan puisi dihasilkan oleh individu-individu
pengarang, masyarakat memerlukan peran dan dukungan pemerintah serta berbagai
pihak terkait lainnnya untuk menopang upaya pelestarian ini. Pemerintah dapat
memfasilitasi penerbitan karya-karya bermutu, lebih daripada itu juga melakukan
upaya penyosialisasiannya kepada masyarakat pembaca misalnya dengan mengadakan
kegiatan rutin “pembacaan” karya sastra berbahasa Banjar.
Sastra Berbahasa Banjar dengan bentuk puisi dan cerpen
dapat diaplikasikan dalam Mata Pelajaran Bahasa Indonesia. Ini disesuaikan dengan
kurikulum yang berlaku pada tiap tingkatan. Ini berarti, pada pembelajaran
puisi dan cerpen, siswa-siswa di Kalimantan Selatan tidak hanya mempelajari
puisi dan cerpen berbahasa Indonesia tapi juga mempelajari puisi dan cerpen
berbahasa Banjar. Sebenarnya selain puisi dan cerpen, bentuk karya sastra
lainnya yang dapat dipakai sebagai upaya pelestarian bahasa Banjar adalah
sastra berbentuk drama, baik yang tradisional maupun yang modern.
Selain mata pelajaran Bahasa Indonesia, mata pelajaran
Muatan Lokal dapat pula dipakai sebagai upaya pelestarian bahasa Banjar. Baik
melalui pembelajaran bahasa Banjarnya maupun melalui pembelajaran seni
budayanya yang menggunakan bahasa Banjar sebagai media.
E. Daftar
Pustaka
Afra,
Afifah. 2007. How To Be A Smart Writer. Surakarta: Indiva
Media Kreasi.
El
Husaini, Abdurrahman. 2011. Doa Banyu Mata. Banjarmasin: Tahura
Media.
------------.
2012. Jukung Waktu. Banjarbaru: Scripta Cendekia.
Firly,
Sandi (Ed). 2012. Malam Kumpai Batu. Banjarmasin: Tahura Media.
Hapip,
Abdul Djebar. 2008. Kamus Banjar Indonesia. Banjarbaru:
CV Rahmat
Hafz Al Mubaroq.
Tarsyad,
Tarman Effendi. 2011. Kajian Stilistika Puisi Sapardi Djoko Damono.
Banjarmasin: Tahura Media.